Stop Jadi Setengah Nahdliyin

Selasa, 8 Februari 2022 13:17 WIB

Share
Foto: Ist
Foto: Ist

Oleh : Kiai A Dardiri Zubairi (Pengasuh PP. NASA Sumenep)

Pascaaksi212, FPI sebagai motor aksi menyita perhatian umat Islam di Indonesia. Di media massa, apalagi di media sosial FPI nenjadi trending topik. Setiap hari nyaris tak ada pemberitaan  tanpa FPI. FPI sebagai motor aksi telah memunculkan banyak spekulasi yang mengakibatkan sikap pro-kontra.

Sayup-sayup FPI tiba juga di Madura. Kebetulan organ yang memfasilitasi di Madura sudah siap, yaitu AUMA (Aliansi Ulama Madura), sebuah ormas baru yang yang lumayan keras. Karena itu dengan mudah FPI tinggal dikloning. Setidaknya ini yang terjadi di Sumenep, meski di daerah lain seperti Bangkalan FPI jauh lebih dulu berdiri ketimbang AUMA.

Sebagai ormas baru AUMA, yang 2-3 tahun kemarin didirikan, sepertinya mau mengulang peran Bassra yang ketika pemerintah ORBA kritis kepada penguasa, terutama berkaitan dengan rencana pembangunan jembatan Suramadu, meski saya melihat perannya sangat beda.

Di samping fokus isunya berbeda,  AUMA sepertinya memliki jaringan kuat dengan ormas senafas di Jakarta, makanya setali tiga uang dengan FPI, bahkan dalam kasus Sumenep tokoh AUMA terlibat menfasilitasi berdirinya FPI. Ini berbeda dengan Bassra yang fokus pada isu lokal.

Bagi saya kehadiran ormas apapun sah didirikan. Selama dibutuhkan dan bisa memperkuat cita kemerdekaan dan bisa diharapkan menjadi corong Islam rahmatal lil alamin tak jadi masalah. Cuma ketika kehadirannya mengusik NU dan warga Nahdiyin serta visi kebangsaan maka penting ormas baru ini disikapi. 

Tulisan ini hanya  hendak merespons usikan terhadap NU tersebut.

Setidaknya dalam usaha merekrut massa, ada tiga isu yang sengaja diwacanakan FPI dalam pertemuan-pertemuan umum yang mengusik NU. Tiga isu ini penting direspon agar tidak menimbulkan kesalahpahaman terutama kepada warga nahdliyin.

Pertama soal isu bahwa petinggi FPI di Madura (setidaknya kasus di  Sumenep ) selalu mengatakan dalam ceramahnya, "saya ini ikut NU-nya kyai Hasyim Asy'ari, NU "se kona" (yang dulu)". Mafhum mukhalafahnya, sama NU sekarang kurang mengakui.

Bagi saya pernyataan seperti itu patut direnungkan. Pertanyaannya, bagaimana mau ikut KH. Hasyim pada hal tidak sezaman? Dari mana kita bisa meyakini bahwa NU kita sama dengan kyai Hasyim? 

Halaman
Komentar
limit 500 karakter
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
0 Komentar
Berita Terpopuler